Lebih Utama Mana, Sedekah kepada Keluarga atau Orang Lain?
Sedekah Subuh.
Sedekah Nurul Hayat
Selain menjalankan ibadah-ibadah pokok, seseorang belum dianggap mendapatkan
kebaikan hingga rela memberikan harta yang dicintai. Di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا
مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ Artinya: “Kamu tidak akan memperoleh
kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa
pun yang kamu infakkan, tentang hal itu, sungguh Allah Maha Mengetahui.” (QS
Ali Imran: 92) Selain Al-Qur’an, banyak hadits yang menegaskan tentang
keutamaan-keutamaan orang yang mau bersedekah. Di antaranya bahwa bersedekah
bisa mematikan panasnya alam kubur, bisa memberikan naungan pada hari kiamat
kelak, dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Amir mengatakan: ADVERTISEMENT إِنَّ
الصَّدَقَةَ لَتُطْفِئُ عَنْ أَهْلِهَا حَرَّ الْقُبُورِ، وَإِنَّمَا يَسْتَظِلُّ
الْمُؤْمِنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ Artinya: “Sesungguhnya
sedekah pasti bisa meredam orang-orang yang melaksanakannya dari hawa panasnya
kubur. Pada hari kiamat, orang yang beriman akan mendapat naungan (berteduh) di
bawah sedekahnya (saat di dunia).” (Syu’abul Iman: 3076). ADVERTISEMENT
Kemudian apabila ada orang ingin bersedekah namun bingung mana yang semestinya
didahulukan antara memberikannya kepada keluarga terlebih dahulu atau orang
lain, bagaimana sebaiknya? Menurut penyataan Imam Nawawi dalam kitabnya
Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, ulama telah sepakat bahwa bersedekah kepada sanak
famili lebih utama dibandingkan yang lain berdasarkan referensi beberapa
hadits. أَجْمَعَتْ الْأُمَّةُ عَلَى أَنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى الْأَقَارِبِ
أَفْضَلُ مِنْ الْأَجَانِبِ وَالْأَحَادِيثُ فِي الْمَسْأَلَةِ كَثِيرَةٌ
مَشْهُورَةٌ Artinya: “Ulama sepakat bahwa sedekah kepada sanak kerabat lebih
utama daripada sedekah kepada orang lain. Hadits-hadits yang menyebutkan hal
tersebut sangat banyak dan terkenal.” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab,
[Dârul Fikr], juz 6, halaman 238) Di antara hadits yang dibuat dasar pernyataan
Imam Nawawi di atas adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri
berikut: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَضْحًى
أَوْ فِطْرٍ إِلَى المُصَلَّى، ثُمَّ انْصَرَفَ، فَوَعَظَ النَّاسَ، وَأَمَرَهُمْ
بِالصَّدَقَةِ، فَقَالَ: «أَيُّهَا النَّاسُ، تَصَدَّقُوا»، فَمَرَّ عَلَى
النِّسَاءِ، فَقَالَ: «يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ، تَصَدَّقْنَ، فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ
أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ» فَقُلْنَ: وَبِمَ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ:
«تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ، وَتَكْفُرْنَ العَشِيرَ، مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ
عَقْلٍ وَدِينٍ، أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الحَازِمِ، مِنْ إِحْدَاكُنَّ، يَا
مَعْشَرَ النِّسَاءِ» ثُمَّ انْصَرَفَ، فَلَمَّا صَارَ إِلَى مَنْزِلِهِ، جَاءَتْ
زَيْنَبُ، امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ، تَسْتَأْذِنُ عَلَيْهِ، فَقِيلَ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، هَذِهِ زَيْنَبُ، فَقَالَ: «أَيُّ الزَّيَانِبِ؟» فَقِيلَ:
امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: «نَعَمْ، ائْذَنُوا لَهَا» فَأُذِنَ لَهَا،
قَالَتْ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، إِنَّكَ أَمَرْتَ اليَوْمَ بِالصَّدَقَةِ، وَكَانَ
عِنْدِي حُلِيٌّ لِي، فَأَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهِ، فَزَعَمَ ابْنُ
مَسْعُودٍ: أَنَّهُ وَوَلَدَهُ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «صَدَقَ ابْنُ مَسْعُودٍ، زَوْجُكِ
وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ» Artinya: ‘Suatu ketika
Rasulullah keluar menuju masjid guna menunaikan ibadah shalat Idul Adha atau
Idul Fitri. Sehabis shalat, beliau menghadap warga sekitar, memberikan
petuah-petuah kepada masyarakat dan menyuruh mereka untuk bersedekah. ‘Wahai
para manusia. Bersedekahlah!’ Pesan Nabi. Ada beberapa wanita yang tampak
lewat, terlihat oleh Baginda Rasul. Rasul pun berpesan ‘Wahai para wanita
sekalian, bersedekahlah! Sebab saya itu melihat mayoritas dari kalian adalah
penghuni neraka!’ Para wanita yang lewat menjadi heran, apa korelasinya antara
menjadi penghuni neraka dengan bersedekah sehingga mereka bertanya, ‘Kenapa
harus dengan bersedekah, Ya Rasul?’ Rasulullah menjawab, ‘Karena kalian sering
melaknat dan kufur terhadap suami. Aku tidak pernah melihat seseorang yang akal
dan agamanya kurang namun bisa sampai menghilangkan kecerdasan laki-laki cerdas
kecuali hanya di antara kalian ini yang bisa, wahai para wanita.’ Sehabis
Rasulullah berkhutbah di hadapan masyarakat, beliau bergegas pulang ke
kediaman. Setelah sampai rumah, Zainab, istri Abdullah bin Mas’ud meminta izin
untuk diperbolehkan masuk, sowan kepada Baginda Nabi. Nabi pun mempersilakan.
Ada yang memperkenalkan, ‘Ya Rasulallah, ini Zainab.’ Rasul balik bertanya,
‘Zainab yang mana?’ ‘Istri Ibnu Mas’ud.’ ‘Oh ya, suruh dia masuk!’ Zainab
mencoba berbicara kepada Nabi, ‘Ya Rasul. Tadi Anda menyuruh untuk bersedekah
hari ini. Ini saya punya perhiasan. Saya ingin mensedekahkan barang milikku
ini. Namun Ibnu Mas’ud (suamiku) mengira bahwa dia dan anaknya lebih berhak
saya kasih sedekah daripada orang lain.’ Rasul pun menegaskan, ‘Lho, memang
benar apa yang dikatakan Ibnu Mas’ud itu. Suami dan anakmu lebih berhak kamu
kasih sedekah daripada orang lain.’ (HR. Bukhari: 1462) Adanya hadits di atas,
para ulama berpijak bahwa bersedekah kepada keluarga lebih diutamakan daripada
orang lain. Meskipun begitu, ada juga murid-murid Imam Syafi’i yang
berpandangan tidak ada perbedaan sama sekali tentang mana yang perlu
didahulukan. قَالَ أَصْحَابُنَا وَلَا فَرْقَ فِي اسْتِحْبَابِ صَدَقَةِ
التَّطَوُّعِ عَلَى الْقَرِيبِ وَتَقْدِيمِهِ عَلَى الْأَجْنَبِيِّ بَيْنَ أَنْ
يَكُونَ الْقَرِيبُ مِمَّنْ يَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ أَوْ غَيْرُهُ قَالَ
الْبَغَوِيّ دَفْعُهَا إلَى قَرِيبٍ يَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ أَفْضَلُ مِنْ
دَفْعِهَا إلَى الْأَجْنَبِيِّ Artinya: “Teman-teman kami (bermazhab Syafi’i)
mengatakan ‘tidak ada perbedaan pada sedekah yang sunnah antara keluarga dekat
yang harus dinafkahi harus didahulukan daripada orang lain atau sebagainya.
Menurut Al-Baghawi, memberikan kepada keluarga dekat yang menjadi tanggung
jawab nafkahnya, lebih utama dibandingkan sedekah kepada orang lain.”
(An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, [Dârul Fikr], juz 6, halaman 238)
Berbeda dengan mereka, Imam Baghawi mengungkapkan tetap ada perbedaan dalam
masalah keutamaan. Garda terdepan yang paling utama menerima sedekah adalah
keluarga yang menjadi tanggung jawab nafkah seperti istri, anak-anaknya sendiri
yang masih kecil dan sebagainya. Hal ini senada dengan komentar Syekh Abu Bakar
Syatha penulis kitab I’anatuth Thalibin. Hanya saja ada sedikit perbedaan mana
yang semestinya didahulukan dalam keluarga itu sendiri. Jika Imam Baghawi dan
Syekh Abu Bakar itu menyuruh untuk keluarga yang mempunyai tanggung jawab
nafkahnya, Syekh Zainuddin Al-Malyabari dalam kitabnya Fathul Mu’in justru
mengatakan bahwa urutannya sebagai berikut: وإعطاؤها لقريب لا تلزمه نفقته أولى
الأقرب فالأقرب من المحارم ثم الزوج أو الزوجة ثم غير المحرم والرحم من جهة الأب
ومن جهة الام سواء ثم محرم الرضاع ثم المصاهرة أفضل Artinya: “Memberikah sedekah
sunnah kepada kerabat yang tidak menjadi tanggung jawab nafkahnya itu lebih
utama. Baru kemudian kerabat paling dekat berikutnya, berikutnya yang bersumber
dari keluarga yang haram dinikah (mahram), suami/istri, kemudian kelurga
non-mahram, keluarga dari ayah ibu, mahram sebab sepersusuan, berikutnya adalah
mertua.” (Zainudin Al-Malyabari, Fathul Muin, [Dar Ibnu Hazm, cetakan I],
halaman 257) Uraian di atas tidak bisa dibuat alasan bagi orang-orang pelit
untuk menutupi kemalasannya bersedekah kepada orang di luar rumah. Ada sedikit
catatan menarik dari Imam Nawawi yang mengutip dari ashabus Syafi’i bahwa skala
prioritas sebagaimana urutan-urutan di atas semestinya tetap harus
mempertimbangkan tentang kemampuan finansial penerima. Artinya keluarga yang
masuk kategori mustahiq zakat lebih utama untuk didahulukan daripada orang
lain. قَالَ أَصْحَابُنَا يُسْتَحَبُّ فِي صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ وَفِي الزَّكَاةِ
وَالْكَفَّارَةِ صَرْفُهَا إلَى الْأَقَارِبِ إذا كانو بِصِفَةِ الِاسْتِحْقَاقِ
وَهُمْ أَفْضَلُ مِنْ الْأَجَانِبِ Artinya: “Menurut sahabat-sahabat kami,
disunnahkan pada sedekah yang sunnah, zakat, kaffarah untuk diterimakan kepada
sanak kerabat jika memang mereka adalah orang yang masuk kategori mustahiq
zakat. Jika mereka masuk kategori tersebut, lebih utama daripada diberikan
kepada orang lain.” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, [Dârul Fikr], juz
6, halaman 220). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa memprioritaskan
pemberian sedekah kepada sanak kerabat jika memang mereka mempunyai kategori
fakir, miskin, atau gharim (orang yang banyak utangnya). Pengertian “tidak
mampu” di sini mengacu pada standar sangat rendah, yaitu batas orang berhak
menerima zakat, bukan tidak mampu secara strata sosial yang masing-masing
wilayah bisa jadi berbeda sudut pandangnya. Apabila dalam keluarga tersebut
tidak ada orang yang berhak menerima zakat, semestinya sudah tidak ada skala prioritas
antara keluarga dengan non keluarga. Wallahu a’lam. Ustadz Ahmad Mundzir,
pengajar di Pesantren Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Semarang
Lebih Utama Mana,
Sedekah kepada Keluarga atau Orang Lain?
Jumat 22 Februari 2019 22:15 WIB
Bagikan:
Selain menjalankan ibadah-ibadah pokok, seseorang belum dianggap
mendapatkan kebaikan hingga rela memberikan harta yang dicintai. Di
dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا
تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya: “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu
menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu
infakkan, tentang hal itu, sungguh Allah Maha Mengetahui.” (QS Ali
Imran: 92)
Selain Al-Qur’an, banyak hadits yang menegaskan tentang
keutamaan-keutamaan orang yang mau bersedekah. Di antaranya bahwa
bersedekah bisa mematikan panasnya alam kubur, bisa memberikan naungan
pada hari kiamat kelak, dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Amir
mengatakan:
ADVERTISEMENT
إِنَّ الصَّدَقَةَ لَتُطْفِئُ عَنْ أَهْلِهَا حَرَّ الْقُبُورِ، وَإِنَّمَا
يَسْتَظِلُّ الْمُؤْمِنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ
Artinya: “Sesungguhnya sedekah pasti bisa meredam orang-orang yang
melaksanakannya dari hawa panasnya kubur. Pada hari kiamat, orang yang
beriman akan mendapat naungan (berteduh) di bawah sedekahnya (saat di
dunia).” (Syu’abul Iman: 3076).
ADVERTISEMENT
Kemudian apabila ada orang ingin bersedekah namun bingung mana yang
semestinya didahulukan antara memberikannya kepada keluarga terlebih
dahulu atau orang lain, bagaimana sebaiknya?
Menurut penyataan Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah
Al-Muhadzab, ulama telah sepakat bahwa bersedekah kepada sanak famili
lebih utama dibandingkan yang lain berdasarkan referensi beberapa
hadits.
أَجْمَعَتْ الْأُمَّةُ عَلَى أَنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى الْأَقَارِبِ
أَفْضَلُ مِنْ الْأَجَانِبِ وَالْأَحَادِيثُ فِي الْمَسْأَلَةِ كَثِيرَةٌ
مَشْهُورَةٌ
Artinya: “Ulama sepakat bahwa sedekah kepada sanak kerabat lebih utama
daripada sedekah kepada orang lain. Hadits-hadits yang menyebutkan hal
tersebut sangat banyak dan terkenal.” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah
Al-Muhadzab, [Dârul Fikr], juz 6, halaman 238)
Di antara hadits yang dibuat dasar pernyataan Imam Nawawi di atas adalah
hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri berikut:
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَضْحًى أَوْ
فِطْرٍ إِلَى المُصَلَّى، ثُمَّ انْصَرَفَ، فَوَعَظَ النَّاسَ،
وَأَمَرَهُمْ بِالصَّدَقَةِ، فَقَالَ: «أَيُّهَا النَّاسُ، تَصَدَّقُوا»،
فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ، فَقَالَ: «يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ،
تَصَدَّقْنَ، فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ» فَقُلْنَ:
وَبِمَ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ،
وَتَكْفُرْنَ العَشِيرَ، مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ،
أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الحَازِمِ، مِنْ إِحْدَاكُنَّ، يَا مَعْشَرَ
النِّسَاءِ» ثُمَّ انْصَرَفَ، فَلَمَّا صَارَ إِلَى مَنْزِلِهِ، جَاءَتْ
زَيْنَبُ، امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ، تَسْتَأْذِنُ عَلَيْهِ، فَقِيلَ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، هَذِهِ زَيْنَبُ، فَقَالَ: «أَيُّ الزَّيَانِبِ؟»
فَقِيلَ: امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: «نَعَمْ، ائْذَنُوا لَهَا»
فَأُذِنَ لَهَا، قَالَتْ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، إِنَّكَ أَمَرْتَ اليَوْمَ
بِالصَّدَقَةِ، وَكَانَ عِنْدِي حُلِيٌّ لِي، فَأَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ
بِهِ، فَزَعَمَ ابْنُ مَسْعُودٍ: أَنَّهُ وَوَلَدَهُ أَحَقُّ مَنْ
تَصَدَّقْتُ بِهِ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «صَدَقَ ابْنُ مَسْعُودٍ، زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ
تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ»
Artinya: ‘Suatu ketika Rasulullah keluar menuju masjid guna menunaikan
ibadah shalat Idul Adha atau Idul Fitri. Sehabis shalat, beliau
menghadap warga sekitar, memberikan petuah-petuah kepada masyarakat dan
menyuruh mereka untuk bersedekah. ‘Wahai para manusia. Bersedekahlah!’
Pesan Nabi.
Ada beberapa wanita yang tampak lewat, terlihat oleh Baginda Rasul.
Rasul pun berpesan ‘Wahai para wanita sekalian, bersedekahlah! Sebab
saya itu melihat mayoritas dari kalian adalah penghuni neraka!’
Para wanita yang lewat menjadi heran, apa korelasinya antara menjadi
penghuni neraka dengan bersedekah sehingga mereka bertanya, ‘Kenapa
harus dengan bersedekah, Ya Rasul?’
Rasulullah menjawab, ‘Karena kalian sering melaknat dan kufur terhadap
suami. Aku tidak pernah melihat seseorang yang akal dan agamanya kurang
namun bisa sampai menghilangkan kecerdasan laki-laki cerdas kecuali
hanya di antara kalian ini yang bisa, wahai para wanita.’
Sehabis Rasulullah berkhutbah di hadapan masyarakat, beliau bergegas
pulang ke kediaman. Setelah sampai rumah, Zainab, istri Abdullah bin
Mas’ud meminta izin untuk diperbolehkan masuk, sowan kepada Baginda
Nabi. Nabi pun mempersilakan.
Ada yang memperkenalkan, ‘Ya Rasulallah, ini Zainab.’
Rasul balik bertanya, ‘Zainab yang mana?’
‘Istri Ibnu Mas’ud.’
‘Oh ya, suruh dia masuk!’
Zainab mencoba berbicara kepada Nabi, ‘Ya Rasul. Tadi Anda menyuruh
untuk bersedekah hari ini. Ini saya punya perhiasan. Saya ingin
mensedekahkan barang milikku ini. Namun Ibnu Mas’ud (suamiku) mengira
bahwa dia dan anaknya lebih berhak saya kasih sedekah daripada orang
lain.’
Rasul pun menegaskan, ‘Lho, memang benar apa yang dikatakan Ibnu Mas’ud
itu. Suami dan anakmu lebih berhak kamu kasih sedekah daripada orang
lain.’ (HR. Bukhari: 1462)
Adanya hadits di atas, para ulama berpijak bahwa bersedekah kepada
keluarga lebih diutamakan daripada orang lain. Meskipun begitu, ada juga
murid-murid Imam Syafi’i yang berpandangan tidak ada perbedaan sama
sekali tentang mana yang perlu didahulukan.
قَالَ أَصْحَابُنَا وَلَا فَرْقَ فِي اسْتِحْبَابِ صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ
عَلَى الْقَرِيبِ وَتَقْدِيمِهِ عَلَى الْأَجْنَبِيِّ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ
الْقَرِيبُ مِمَّنْ يَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ أَوْ غَيْرُهُ قَالَ الْبَغَوِيّ
دَفْعُهَا إلَى قَرِيبٍ يَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ أَفْضَلُ مِنْ دَفْعِهَا
إلَى الْأَجْنَبِيِّ
Artinya: “Teman-teman kami (bermazhab Syafi’i) mengatakan ‘tidak ada
perbedaan pada sedekah yang sunnah antara keluarga dekat yang harus
dinafkahi harus didahulukan daripada orang lain atau sebagainya. Menurut
Al-Baghawi, memberikan kepada keluarga dekat yang menjadi tanggung
jawab nafkahnya, lebih utama dibandingkan sedekah kepada orang lain.”
(An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, [Dârul Fikr], juz 6, halaman
238)
Berbeda dengan mereka, Imam Baghawi mengungkapkan tetap ada perbedaan
dalam masalah keutamaan. Garda terdepan yang paling utama menerima
sedekah adalah keluarga yang menjadi tanggung jawab nafkah seperti
istri, anak-anaknya sendiri yang masih kecil dan sebagainya.
Hal ini senada dengan komentar Syekh Abu Bakar Syatha penulis kitab
I’anatuth Thalibin. Hanya saja ada sedikit perbedaan mana yang
semestinya didahulukan dalam keluarga itu sendiri. Jika Imam Baghawi dan
Syekh Abu Bakar itu menyuruh untuk keluarga yang mempunyai tanggung
jawab nafkahnya, Syekh Zainuddin Al-Malyabari dalam kitabnya Fathul
Mu’in justru mengatakan bahwa urutannya sebagai berikut:
وإعطاؤها لقريب لا تلزمه نفقته أولى الأقرب فالأقرب من المحارم ثم الزوج أو
الزوجة ثم غير المحرم والرحم من جهة الأب ومن جهة الام سواء ثم محرم
الرضاع ثم المصاهرة أفضل
Artinya: “Memberikah sedekah sunnah kepada kerabat yang tidak menjadi
tanggung jawab nafkahnya itu lebih utama. Baru kemudian kerabat paling
dekat berikutnya, berikutnya yang bersumber dari keluarga yang haram
dinikah (mahram), suami/istri, kemudian kelurga non-mahram, keluarga
dari ayah ibu, mahram sebab sepersusuan, berikutnya adalah mertua.”
(Zainudin Al-Malyabari, Fathul Muin, [Dar Ibnu Hazm, cetakan I], halaman
257)
Uraian di atas tidak bisa dibuat alasan bagi orang-orang pelit untuk
menutupi kemalasannya bersedekah kepada orang di luar rumah. Ada sedikit
catatan menarik dari Imam Nawawi yang mengutip dari ashabus Syafi’i
bahwa skala prioritas sebagaimana urutan-urutan di atas semestinya tetap
harus mempertimbangkan tentang kemampuan finansial penerima. Artinya
keluarga yang masuk kategori mustahiq zakat lebih utama untuk
didahulukan daripada orang lain.
قَالَ أَصْحَابُنَا يُسْتَحَبُّ فِي صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ وَفِي
الزَّكَاةِ وَالْكَفَّارَةِ صَرْفُهَا إلَى الْأَقَارِبِ إذا كانو بِصِفَةِ
الِاسْتِحْقَاقِ وَهُمْ أَفْضَلُ مِنْ الْأَجَانِبِ
Artinya: “Menurut sahabat-sahabat kami, disunnahkan pada sedekah yang
sunnah, zakat, kaffarah untuk diterimakan kepada sanak kerabat jika
memang mereka adalah orang yang masuk kategori mustahiq zakat. Jika
mereka masuk kategori tersebut, lebih utama daripada diberikan kepada
orang lain.” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, [Dârul Fikr], juz
6, halaman 220).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa memprioritaskan pemberian
sedekah kepada sanak kerabat jika memang mereka mempunyai kategori
fakir, miskin, atau gharim (orang yang banyak utangnya). Pengertian
“tidak mampu” di sini mengacu pada standar sangat rendah, yaitu batas
orang berhak menerima zakat, bukan tidak mampu secara strata sosial yang
masing-masing wilayah bisa jadi berbeda sudut pandangnya.
Apabila dalam keluarga tersebut tidak ada orang yang berhak menerima
zakat, semestinya sudah tidak ada skala prioritas antara keluarga dengan
non keluarga. Wallahu a’lam.
Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Quran
an-Nasimiyyah, Semarang
Sumber:
https://islam.nu.or.id/post/read/102831/lebih-utama-mana-sedekah-kepada-keluarga-atau-orang-lainLebih Utama Mana,
Sedekah kepada Keluarga atau Orang Lain?
Jumat 22 Februari 2019 22:15 WIB
Bagikan:
Selain menjalankan ibadah-ibadah pokok, seseorang belum dianggap
mendapatkan kebaikan hingga rela memberikan harta yang dicintai. Di
dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا
تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya: “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu
menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu
infakkan, tentang hal itu, sungguh Allah Maha Mengetahui.” (QS Ali
Imran: 92)
Selain Al-Qur’an, banyak hadits yang menegaskan tentang
keutamaan-keutamaan orang yang mau bersedekah. Di antaranya bahwa
bersedekah bisa mematikan panasnya alam kubur, bisa memberikan naungan
pada hari kiamat kelak, dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Amir
mengatakan:
ADVERTISEMENT
إِنَّ الصَّدَقَةَ لَتُطْفِئُ عَنْ أَهْلِهَا حَرَّ الْقُبُورِ، وَإِنَّمَا
يَسْتَظِلُّ الْمُؤْمِنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ
Artinya: “Sesungguhnya sedekah pasti bisa meredam orang-orang yang
melaksanakannya dari hawa panasnya kubur. Pada hari kiamat, orang yang
beriman akan mendapat naungan (berteduh) di bawah sedekahnya (saat di
dunia).” (Syu’abul Iman: 3076).
ADVERTISEMENT
Kemudian apabila ada orang ingin bersedekah namun bingung mana yang
semestinya didahulukan antara memberikannya kepada keluarga terlebih
dahulu atau orang lain, bagaimana sebaiknya?
Menurut penyataan Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah
Al-Muhadzab, ulama telah sepakat bahwa bersedekah kepada sanak famili
lebih utama dibandingkan yang lain berdasarkan referensi beberapa
hadits.
أَجْمَعَتْ الْأُمَّةُ عَلَى أَنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى الْأَقَارِبِ
أَفْضَلُ مِنْ الْأَجَانِبِ وَالْأَحَادِيثُ فِي الْمَسْأَلَةِ كَثِيرَةٌ
مَشْهُورَةٌ
Artinya: “Ulama sepakat bahwa sedekah kepada sanak kerabat lebih utama
daripada sedekah kepada orang lain. Hadits-hadits yang menyebutkan hal
tersebut sangat banyak dan terkenal.” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah
Al-Muhadzab, [Dârul Fikr], juz 6, halaman 238)
Di antara hadits yang dibuat dasar pernyataan Imam Nawawi di atas adalah
hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri berikut:
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَضْحًى أَوْ
فِطْرٍ إِلَى المُصَلَّى، ثُمَّ انْصَرَفَ، فَوَعَظَ النَّاسَ،
وَأَمَرَهُمْ بِالصَّدَقَةِ، فَقَالَ: «أَيُّهَا النَّاسُ، تَصَدَّقُوا»،
فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ، فَقَالَ: «يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ،
تَصَدَّقْنَ، فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ» فَقُلْنَ:
وَبِمَ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ،
وَتَكْفُرْنَ العَشِيرَ، مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ،
أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الحَازِمِ، مِنْ إِحْدَاكُنَّ، يَا مَعْشَرَ
النِّسَاءِ» ثُمَّ انْصَرَفَ، فَلَمَّا صَارَ إِلَى مَنْزِلِهِ، جَاءَتْ
زَيْنَبُ، امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ، تَسْتَأْذِنُ عَلَيْهِ، فَقِيلَ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، هَذِهِ زَيْنَبُ، فَقَالَ: «أَيُّ الزَّيَانِبِ؟»
فَقِيلَ: امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: «نَعَمْ، ائْذَنُوا لَهَا»
فَأُذِنَ لَهَا، قَالَتْ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، إِنَّكَ أَمَرْتَ اليَوْمَ
بِالصَّدَقَةِ، وَكَانَ عِنْدِي حُلِيٌّ لِي، فَأَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ
بِهِ، فَزَعَمَ ابْنُ مَسْعُودٍ: أَنَّهُ وَوَلَدَهُ أَحَقُّ مَنْ
تَصَدَّقْتُ بِهِ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «صَدَقَ ابْنُ مَسْعُودٍ، زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ
تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ»
Artinya: ‘Suatu ketika Rasulullah keluar menuju masjid guna menunaikan
ibadah shalat Idul Adha atau Idul Fitri. Sehabis shalat, beliau
menghadap warga sekitar, memberikan petuah-petuah kepada masyarakat dan
menyuruh mereka untuk bersedekah. ‘Wahai para manusia. Bersedekahlah!’
Pesan Nabi.
Ada beberapa wanita yang tampak lewat, terlihat oleh Baginda Rasul.
Rasul pun berpesan ‘Wahai para wanita sekalian, bersedekahlah! Sebab
saya itu melihat mayoritas dari kalian adalah penghuni neraka!’
Para wanita yang lewat menjadi heran, apa korelasinya antara menjadi
penghuni neraka dengan bersedekah sehingga mereka bertanya, ‘Kenapa
harus dengan bersedekah, Ya Rasul?’
Rasulullah menjawab, ‘Karena kalian sering melaknat dan kufur terhadap
suami. Aku tidak pernah melihat seseorang yang akal dan agamanya kurang
namun bisa sampai menghilangkan kecerdasan laki-laki cerdas kecuali
hanya di antara kalian ini yang bisa, wahai para wanita.’
Sehabis Rasulullah berkhutbah di hadapan masyarakat, beliau bergegas
pulang ke kediaman. Setelah sampai rumah, Zainab, istri Abdullah bin
Mas’ud meminta izin untuk diperbolehkan masuk, sowan kepada Baginda
Nabi. Nabi pun mempersilakan.
Ada yang memperkenalkan, ‘Ya Rasulallah, ini Zainab.’
Rasul balik bertanya, ‘Zainab yang mana?’
‘Istri Ibnu Mas’ud.’
‘Oh ya, suruh dia masuk!’
Zainab mencoba berbicara kepada Nabi, ‘Ya Rasul. Tadi Anda menyuruh
untuk bersedekah hari ini. Ini saya punya perhiasan. Saya ingin
mensedekahkan barang milikku ini. Namun Ibnu Mas’ud (suamiku) mengira
bahwa dia dan anaknya lebih berhak saya kasih sedekah daripada orang
lain.’
Rasul pun menegaskan, ‘Lho, memang benar apa yang dikatakan Ibnu Mas’ud
itu. Suami dan anakmu lebih berhak kamu kasih sedekah daripada orang
lain.’ (HR. Bukhari: 1462)
Adanya hadits di atas, para ulama berpijak bahwa bersedekah kepada
keluarga lebih diutamakan daripada orang lain. Meskipun begitu, ada juga
murid-murid Imam Syafi’i yang berpandangan tidak ada perbedaan sama
sekali tentang mana yang perlu didahulukan.
قَالَ أَصْحَابُنَا وَلَا فَرْقَ فِي اسْتِحْبَابِ صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ
عَلَى الْقَرِيبِ وَتَقْدِيمِهِ عَلَى الْأَجْنَبِيِّ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ
الْقَرِيبُ مِمَّنْ يَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ أَوْ غَيْرُهُ قَالَ الْبَغَوِيّ
دَفْعُهَا إلَى قَرِيبٍ يَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ أَفْضَلُ مِنْ دَفْعِهَا
إلَى الْأَجْنَبِيِّ
Artinya: “Teman-teman kami (bermazhab Syafi’i) mengatakan ‘tidak ada
perbedaan pada sedekah yang sunnah antara keluarga dekat yang harus
dinafkahi harus didahulukan daripada orang lain atau sebagainya. Menurut
Al-Baghawi, memberikan kepada keluarga dekat yang menjadi tanggung
jawab nafkahnya, lebih utama dibandingkan sedekah kepada orang lain.”
(An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, [Dârul Fikr], juz 6, halaman
238)
Berbeda dengan mereka, Imam Baghawi mengungkapkan tetap ada perbedaan
dalam masalah keutamaan. Garda terdepan yang paling utama menerima
sedekah adalah keluarga yang menjadi tanggung jawab nafkah seperti
istri, anak-anaknya sendiri yang masih kecil dan sebagainya.
Hal ini senada dengan komentar Syekh Abu Bakar Syatha penulis kitab
I’anatuth Thalibin. Hanya saja ada sedikit perbedaan mana yang
semestinya didahulukan dalam keluarga itu sendiri. Jika Imam Baghawi dan
Syekh Abu Bakar itu menyuruh untuk keluarga yang mempunyai tanggung
jawab nafkahnya, Syekh Zainuddin Al-Malyabari dalam kitabnya Fathul
Mu’in justru mengatakan bahwa urutannya sebagai berikut:
وإعطاؤها لقريب لا تلزمه نفقته أولى الأقرب فالأقرب من المحارم ثم الزوج أو
الزوجة ثم غير المحرم والرحم من جهة الأب ومن جهة الام سواء ثم محرم
الرضاع ثم المصاهرة أفضل
Artinya: “Memberikah sedekah sunnah kepada kerabat yang tidak menjadi
tanggung jawab nafkahnya itu lebih utama. Baru kemudian kerabat paling
dekat berikutnya, berikutnya yang bersumber dari keluarga yang haram
dinikah (mahram), suami/istri, kemudian kelurga non-mahram, keluarga
dari ayah ibu, mahram sebab sepersusuan, berikutnya adalah mertua.”
(Zainudin Al-Malyabari, Fathul Muin, [Dar Ibnu Hazm, cetakan I], halaman
257)
Uraian di atas tidak bisa dibuat alasan bagi orang-orang pelit untuk
menutupi kemalasannya bersedekah kepada orang di luar rumah. Ada sedikit
catatan menarik dari Imam Nawawi yang mengutip dari ashabus Syafi’i
bahwa skala prioritas sebagaimana urutan-urutan di atas semestinya tetap
harus mempertimbangkan tentang kemampuan finansial penerima. Artinya
keluarga yang masuk kategori mustahiq zakat lebih utama untuk
didahulukan daripada orang lain.
قَالَ أَصْحَابُنَا يُسْتَحَبُّ فِي صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ وَفِي
الزَّكَاةِ وَالْكَفَّارَةِ صَرْفُهَا إلَى الْأَقَارِبِ إذا كانو بِصِفَةِ
الِاسْتِحْقَاقِ وَهُمْ أَفْضَلُ مِنْ الْأَجَانِبِ
Artinya: “Menurut sahabat-sahabat kami, disunnahkan pada sedekah yang
sunnah, zakat, kaffarah untuk diterimakan kepada sanak kerabat jika
memang mereka adalah orang yang masuk kategori mustahiq zakat. Jika
mereka masuk kategori tersebut, lebih utama daripada diberikan kepada
orang lain.” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, [Dârul Fikr], juz
6, halaman 220).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa memprioritaskan pemberian
sedekah kepada sanak kerabat jika memang mereka mempunyai kategori
fakir, miskin, atau gharim (orang yang banyak utangnya). Pengertian
“tidak mampu” di sini mengacu pada standar sangat rendah, yaitu batas
orang berhak menerima zakat, bukan tidak mampu secara strata sosial yang
masing-masing wilayah bisa jadi berbeda sudut pandangnya.
Apabila dalam keluarga tersebut tidak ada orang yang berhak menerima
zakat, semestinya sudah tidak ada skala prioritas antara keluarga dengan
non keluarga. Wallahu a’lam.
Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Quran
an-Nasimiyyah, Semarang
Sumber:
https://islam.nu.or.id/post/read/102831/lebih-utama-mana-sedekah-kepada-keluarga-atau-orang-lainLebih Utama Mana,
Sedekah kepada Keluarga atau Orang Lain?
Jumat 22 Februari 2019 22:15 WIB
Bagikan:
Selain menjalankan ibadah-ibadah pokok, seseorang belum dianggap
mendapatkan kebaikan hingga rela memberikan harta yang dicintai. Di
dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا
تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya: “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu
menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu
infakkan, tentang hal itu, sungguh Allah Maha Mengetahui.” (QS Ali
Imran: 92)
Selain Al-Qur’an, banyak hadits yang menegaskan tentang
keutamaan-keutamaan orang yang mau bersedekah. Di antaranya bahwa
bersedekah bisa mematikan panasnya alam kubur, bisa memberikan naungan
pada hari kiamat kelak, dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Amir
mengatakan:
ADVERTISEMENT
إِنَّ الصَّدَقَةَ لَتُطْفِئُ عَنْ أَهْلِهَا حَرَّ الْقُبُورِ، وَإِنَّمَا
يَسْتَظِلُّ الْمُؤْمِنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ
Artinya: “Sesungguhnya sedekah pasti bisa meredam orang-orang yang
melaksanakannya dari hawa panasnya kubur. Pada hari kiamat, orang yang
beriman akan mendapat naungan (berteduh) di bawah sedekahnya (saat di
dunia).” (Syu’abul Iman: 3076).
ADVERTISEMENT
Kemudian apabila ada orang ingin bersedekah namun bingung mana yang
semestinya didahulukan antara memberikannya kepada keluarga terlebih
dahulu atau orang lain, bagaimana sebaiknya?
Menurut penyataan Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah
Al-Muhadzab, ulama telah sepakat bahwa bersedekah kepada sanak famili
lebih utama dibandingkan yang lain berdasarkan referensi beberapa
hadits.
أَجْمَعَتْ الْأُمَّةُ عَلَى أَنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى الْأَقَارِبِ
أَفْضَلُ مِنْ الْأَجَانِبِ وَالْأَحَادِيثُ فِي الْمَسْأَلَةِ كَثِيرَةٌ
مَشْهُورَةٌ
Artinya: “Ulama sepakat bahwa sedekah kepada sanak kerabat lebih utama
daripada sedekah kepada orang lain. Hadits-hadits yang menyebutkan hal
tersebut sangat banyak dan terkenal.” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah
Al-Muhadzab, [Dârul Fikr], juz 6, halaman 238)
Di antara hadits yang dibuat dasar pernyataan Imam Nawawi di atas adalah
hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri berikut:
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَضْحًى أَوْ
فِطْرٍ إِلَى المُصَلَّى، ثُمَّ انْصَرَفَ، فَوَعَظَ النَّاسَ،
وَأَمَرَهُمْ بِالصَّدَقَةِ، فَقَالَ: «أَيُّهَا النَّاسُ، تَصَدَّقُوا»،
فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ، فَقَالَ: «يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ،
تَصَدَّقْنَ، فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ» فَقُلْنَ:
وَبِمَ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ،
وَتَكْفُرْنَ العَشِيرَ، مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ،
أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الحَازِمِ، مِنْ إِحْدَاكُنَّ، يَا مَعْشَرَ
النِّسَاءِ» ثُمَّ انْصَرَفَ، فَلَمَّا صَارَ إِلَى مَنْزِلِهِ، جَاءَتْ
زَيْنَبُ، امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ، تَسْتَأْذِنُ عَلَيْهِ، فَقِيلَ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، هَذِهِ زَيْنَبُ، فَقَالَ: «أَيُّ الزَّيَانِبِ؟»
فَقِيلَ: امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: «نَعَمْ، ائْذَنُوا لَهَا»
فَأُذِنَ لَهَا، قَالَتْ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، إِنَّكَ أَمَرْتَ اليَوْمَ
بِالصَّدَقَةِ، وَكَانَ عِنْدِي حُلِيٌّ لِي، فَأَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ
بِهِ، فَزَعَمَ ابْنُ مَسْعُودٍ: أَنَّهُ وَوَلَدَهُ أَحَقُّ مَنْ
تَصَدَّقْتُ بِهِ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «صَدَقَ ابْنُ مَسْعُودٍ، زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ
تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ»
Artinya: ‘Suatu ketika Rasulullah keluar menuju masjid guna menunaikan
ibadah shalat Idul Adha atau Idul Fitri. Sehabis shalat, beliau
menghadap warga sekitar, memberikan petuah-petuah kepada masyarakat dan
menyuruh mereka untuk bersedekah. ‘Wahai para manusia. Bersedekahlah!’
Pesan Nabi.
Ada beberapa wanita yang tampak lewat, terlihat oleh Baginda Rasul.
Rasul pun berpesan ‘Wahai para wanita sekalian, bersedekahlah! Sebab
saya itu melihat mayoritas dari kalian adalah penghuni neraka!’
Para wanita yang lewat menjadi heran, apa korelasinya antara menjadi
penghuni neraka dengan bersedekah sehingga mereka bertanya, ‘Kenapa
harus dengan bersedekah, Ya Rasul?’
Rasulullah menjawab, ‘Karena kalian sering melaknat dan kufur terhadap
suami. Aku tidak pernah melihat seseorang yang akal dan agamanya kurang
namun bisa sampai menghilangkan kecerdasan laki-laki cerdas kecuali
hanya di antara kalian ini yang bisa, wahai para wanita.’
Sehabis Rasulullah berkhutbah di hadapan masyarakat, beliau bergegas
pulang ke kediaman. Setelah sampai rumah, Zainab, istri Abdullah bin
Mas’ud meminta izin untuk diperbolehkan masuk, sowan kepada Baginda
Nabi. Nabi pun mempersilakan.
Ada yang memperkenalkan, ‘Ya Rasulallah, ini Zainab.’
Rasul balik bertanya, ‘Zainab yang mana?’
‘Istri Ibnu Mas’ud.’
‘Oh ya, suruh dia masuk!’
Zainab mencoba berbicara kepada Nabi, ‘Ya Rasul. Tadi Anda menyuruh
untuk bersedekah hari ini. Ini saya punya perhiasan. Saya ingin
mensedekahkan barang milikku ini. Namun Ibnu Mas’ud (suamiku) mengira
bahwa dia dan anaknya lebih berhak saya kasih sedekah daripada orang
lain.’
Rasul pun menegaskan, ‘Lho, memang benar apa yang dikatakan Ibnu Mas’ud
itu. Suami dan anakmu lebih berhak kamu kasih sedekah daripada orang
lain.’ (HR. Bukhari: 1462)
Adanya hadits di atas, para ulama berpijak bahwa bersedekah kepada
keluarga lebih diutamakan daripada orang lain. Meskipun begitu, ada juga
murid-murid Imam Syafi’i yang berpandangan tidak ada perbedaan sama
sekali tentang mana yang perlu didahulukan.
قَالَ أَصْحَابُنَا وَلَا فَرْقَ فِي اسْتِحْبَابِ صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ
عَلَى الْقَرِيبِ وَتَقْدِيمِهِ عَلَى الْأَجْنَبِيِّ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ
الْقَرِيبُ مِمَّنْ يَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ أَوْ غَيْرُهُ قَالَ الْبَغَوِيّ
دَفْعُهَا إلَى قَرِيبٍ يَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ أَفْضَلُ مِنْ دَفْعِهَا
إلَى الْأَجْنَبِيِّ
Artinya: “Teman-teman kami (bermazhab Syafi’i) mengatakan ‘tidak ada
perbedaan pada sedekah yang sunnah antara keluarga dekat yang harus
dinafkahi harus didahulukan daripada orang lain atau sebagainya. Menurut
Al-Baghawi, memberikan kepada keluarga dekat yang menjadi tanggung
jawab nafkahnya, lebih utama dibandingkan sedekah kepada orang lain.”
(An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, [Dârul Fikr], juz 6, halaman
238)
Berbeda dengan mereka, Imam Baghawi mengungkapkan tetap ada perbedaan
dalam masalah keutamaan. Garda terdepan yang paling utama menerima
sedekah adalah keluarga yang menjadi tanggung jawab nafkah seperti
istri, anak-anaknya sendiri yang masih kecil dan sebagainya.
Hal ini senada dengan komentar Syekh Abu Bakar Syatha penulis kitab
I’anatuth Thalibin. Hanya saja ada sedikit perbedaan mana yang
semestinya didahulukan dalam keluarga itu sendiri. Jika Imam Baghawi dan
Syekh Abu Bakar itu menyuruh untuk keluarga yang mempunyai tanggung
jawab nafkahnya, Syekh Zainuddin Al-Malyabari dalam kitabnya Fathul
Mu’in justru mengatakan bahwa urutannya sebagai berikut:
وإعطاؤها لقريب لا تلزمه نفقته أولى الأقرب فالأقرب من المحارم ثم الزوج أو
الزوجة ثم غير المحرم والرحم من جهة الأب ومن جهة الام سواء ثم محرم
الرضاع ثم المصاهرة أفضل
Artinya: “Memberikah sedekah sunnah kepada kerabat yang tidak menjadi
tanggung jawab nafkahnya itu lebih utama. Baru kemudian kerabat paling
dekat berikutnya, berikutnya yang bersumber dari keluarga yang haram
dinikah (mahram), suami/istri, kemudian kelurga non-mahram, keluarga
dari ayah ibu, mahram sebab sepersusuan, berikutnya adalah mertua.”
(Zainudin Al-Malyabari, Fathul Muin, [Dar Ibnu Hazm, cetakan I], halaman
257)
Uraian di atas tidak bisa dibuat alasan bagi orang-orang pelit untuk
menutupi kemalasannya bersedekah kepada orang di luar rumah. Ada sedikit
catatan menarik dari Imam Nawawi yang mengutip dari ashabus Syafi’i
bahwa skala prioritas sebagaimana urutan-urutan di atas semestinya tetap
harus mempertimbangkan tentang kemampuan finansial penerima. Artinya
keluarga yang masuk kategori mustahiq zakat lebih utama untuk
didahulukan daripada orang lain.
قَالَ أَصْحَابُنَا يُسْتَحَبُّ فِي صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ وَفِي
الزَّكَاةِ وَالْكَفَّارَةِ صَرْفُهَا إلَى الْأَقَارِبِ إذا كانو بِصِفَةِ
الِاسْتِحْقَاقِ وَهُمْ أَفْضَلُ مِنْ الْأَجَانِبِ
Artinya: “Menurut sahabat-sahabat kami, disunnahkan pada sedekah yang
sunnah, zakat, kaffarah untuk diterimakan kepada sanak kerabat jika
memang mereka adalah orang yang masuk kategori mustahiq zakat. Jika
mereka masuk kategori tersebut, lebih utama daripada diberikan kepada
orang lain.” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, [Dârul Fikr], juz
6, halaman 220).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa memprioritaskan pemberian
sedekah kepada sanak kerabat jika memang mereka mempunyai kategori
fakir, miskin, atau gharim (orang yang banyak utangnya). Pengertian
“tidak mampu” di sini mengacu pada standar sangat rendah, yaitu batas
orang berhak menerima zakat, bukan tidak mampu secara strata sosial yang
masing-masing wilayah bisa jadi berbeda sudut pandangnya.
Apabila dalam keluarga tersebut tidak ada orang yang berhak menerima
zakat, semestinya sudah tidak ada skala prioritas antara keluarga dengan
non keluarga. Wallahu a’lam.
Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Quran
an-Nasimiyyah, Semarang
Sumber:
https://islam.nu.or.id/post/read/102831/lebih-utama-mana-sedekah-kepada-keluarga-atau-orang-lain
Komentar
Posting Komentar